Istilah perempuan berasal dari kata empu dan mendapat imbuhan per-an (Kris
Budiman, 2001:77). Penggunaan istilah perempuan menjadi istilah yang lebih diterima
dibandingkan dengan istilah wanita karena istilah wanita berhubungan dengan
metatesis dengan kata betina yang lebih banyak dipergunakan untuk menyebut
binatang. Koentjaraningrat
(1984), Sartono Kartodirjo (1987), Fransz Magnis-Suseno (2000), Kodiran (1979),
dan Suripan Sadi Sutomo (2001) membedakan masyarakat Jawa tradisional menjadi 2
golongan, yaitu masyarakat Jawa priyayi dan
masyarakat Jawa wong cilik.
Masyarakat Jawa priyayi terdiri dari
kaum pegawai dan intelektual. Keluarga bangsawan termasuk dalam kelompok priyayi. Sedangkan masyarakat wong cilik terdiri dari masyarakat
biasa.
Candrarini memiliki pengertian gambaran
atau citra perempuan. Secara keseluruhan candrarini berarti gambaran ideal
perempuan dalam kedudukannya sebagai seorang istri. Candrarini berisi nasihat jika perempuan ingin kekal pernikahannya,
maka ia harus berperilaku baik dan mampu menjaga kecantikan tubuhnya luar dan
dalam. Hal ini terjadi agar suami tetap setia berada disampingnya. Bagi
perempuan priyayi, perceraian
merupakan perbuatan yang hina, menghilangkan kebaikan diri dan pribadinya,
serta bukti kegagalan dalam hidupnya. Maka, semua perempuan priyayi harus berusaha menjaga
kelestarian pernikahannya. Agar kekal perbikahannya, maka Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Pakubuwana IX dan Raden Mas Panji Esmubrata (1939:1) menyarankan
perempuan mengembangkan 9 watak dan tingkah laku antara lain setia kepada
suami, sopan, mencintai sesama, terampil dalam berbagai kegiatan perempuan,
pandai merawat diri, sederhana, pandai melayani suami, memiliki perhatian
kepada mertua, dan gemar membaca buku yang terkait dengan keteladanan.
Kesembilan
watak tersebut merupakan watak yang dimiliki oleh 5 istri Arjuna seperti yang
digambarkan oleh Pakubuwana IX dan 4 Arjuna lainnya yang digambarkan oleh Raden
Mas Panju Esmubrata. Kesembilan istri digambarkan sebagai istri yang sempurna
yang wajib ditiru tingkah lakunya oleh perempuan priyayi dalam kedudukannya sebagai istri.
Penggambaran
sosok ideal perempuan Jawa priyayi seperti
halnya istri Arjuna dalam pewayangan ini dimaksudkan sebagai bahan perbandingan
antara hal yang baik dan hal yang buruk dalam rumah tangga. Apabila perempuan
Jawa priyayi tidak mencitrakan
dirinya sesuai gambaran ideal tersebut, maka keretakan rumah tangga akan
terjadi dan dapat menimbulkan kehancuran keluarga. Perceraian dikalangan
perempuan priyayi merupakan hal yang
sangat memalukan dan dengan berbagai upaya harus dihindari.
DAFTAR
PUSTAKA
Partana, Paina dkk.
2011. ADILUHUNG: KAJIAN BUDAYA JAWA. Surakarta: CakraBooks untuk Institus
Javanologi Universitas Sebelas Maret.