Minggu, 03 April 2016

Gamelan Gaul Sapto Raharjo


Sapto Raharjo lahir di Jakarta, 16 Februari 1955. Dunia musik karawitan dan seni tari digelutinya sejak ia masih duduk di Sekolah Rakyat sekitar 1963. Darah seninya mengalir dari keluarga tokoh pengrawit gamelan asal Yogyakarta Ki Cokro Wasito.
Foto Sapto Raharjo
Sapto Raharjo (almarhum) bersama Komunitas Gayam 16 memprakarsai Festival Gamelan Yogyakarta. Sapto Raharjo juga memperkenalkan istilah ‘gamelan gaul’. Semasa hidup, Sapto Raharjo mengasuh acara ‘Apresiasi Musik’ di sebuah radio swasta anak muda. Dalam acara ini, Sapto selalu memperdengarkan nada-nada gamelan yang telah dipadukan dengan irama musik modern. Dengan begitu musik gamelan tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan orang tua, tetapi juga disukai oleh anak muda. Ia mengisi aransemen musik gamelan pada lagu yang diciptakan oleh Katon Bagaskara, “Jogja, Cinta Tanpa Akhir”.
Sapto Raharjo sedang memainkan Gamelan Elektronik
“Kenal Sapto Rahardjo?” tanya lelaki kurus berambut putih sebahu. “Tidak,” jawab Fadil Ikram, 9 tahun. Siswa kelas IV SD Muhammadiyah, Kalasan, Yogyakarta, itu baru saja melantunkan lagu Anoman Obong. “Wah, ternyata aku ini tidak terkenal,” kata lelaki berambut putih yang bernama Sapto Rahardjo itu sembari tertawa kecut.
Sapto Raharjo, 53 tahun, iseng mengetes popularitasnya di kalangan anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan bulan lalu, saat berlangsung Yogyakarta Gamelan Festival ke-13. Toh, Fadil mengaku lebih suka menonton film kartun Jepang dan lebih mengenal para personel band Sheila on 7. Direktur festival gamelan ini di luar dunia Fadil.
Video Gamelan Gaul Sapto Raharjo
Sapto Rahardjo kondang dalam jagat gamelan kontemporer. Ayah empat anak ini pemrakarsa festival gamelan di Yogyakarta pada 1995. Ia mengusung gamelan di atas truk untuk pementasan keliling dengan sejumlah orang memainkan alat gamelan di sepanjang jalan Kota Yogyakarta. Dalam festival gamelan itu, ia juga mengundang relasinya, kelompok gamelan asing, main di Yogyakarta.
Sapto mengenal gamelan saat masih kelas III SD Ungaran, Yogyakarta, pada 1963. Awalnya ia berlatih menari di sanggar Arena Budaya Yogyakarta lima kali seminggu. “Pertama kali belajar menari, saya kebagian peran monyet dalam fragmen Sugriwo-Subali,” kata lelaki yang selalu mengenakan pakaian hitam itu.
Di saat teman wanitanya belajar menari, Sapto kebagian jatah menabuh gamelan mengiringi latihan tari. “Sampai saat ini saya masih hafal memainkan gamelan mengiringi empat tarian putri itu,” katanya.
Latihan tari dan gemelan terus berlangsung hingga ia bersekolah di SMP 5 Yogyakarta. “Saat SMP, tiada hari tanpa berlatih gamelan dan joget,” katanya. Sapto bahkan beberapa kali menari di hotel. Di SMA 3 Yogya, Sapto membentuk band beraliran rock. Di radio sekolah, Suara Padmanaba, ia membahas perkembangan musik pop dan rock.
Toh, Sapto tak pernah meninggalkan gamelan. Sesekali ia membuat komposisi musik eksperimental yang menggabungkan gamelan dengan musik modern. Eksperimen itu membawanya ke panggung pertunjukan hingga ke luar negeri.
Sebagai pencinta gamelan, hati Sapto Rahardjo berbunga saat diundang ke Festival Gamelan Dunia di Canada pada 1986. Apalagi, panitia menjanjikan akan menggelar Festival Gamelan Dunia tahun berikutnya di Indonesia. “Saya tunggu bertahun-tahun, janji itu tak pernah terwujud,” katanya. Sebagai penawar kecewa, ia memasukkan konser gamelan dalam jadwal Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) pada 1990.
Lepas dari FKY, Sapto nekat menggelar Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) untuk pertama kali pada 1995. Sapto bangga, ajang pertamanya ini dihadiri kelompok gamelan dari dalam negeri serta dari Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, dan Amerika Serikat. Dua festival berikutnya, pada 1996 dan 1997, pesertanya membludak. “Kami bahkan sampai menolak peserta,” katanya.
Sapto bertekad akan terus menggelar festival secara rutin meski setiap tahun harus dipusingkan urusan penggalian dana dan mengkoordinasi banyak orang. Apalagi peserta festival makin bertambah. Tapi ia menjalaninya dengan enteng bersama anak muda dalam Komunitas Gayam yang setia membantunya.
Selama beberapa tahun belakangan ini, Sapto mulai melibatkan kalangan muda mengisi acara festival lewat Gamelan Gaul dan gemelan anak-anak, seperti kelompok Fadil Ikram tersebut. Pada Gamelan Gaul, pemainnya melepaskan diri dari pakem memainkan gamelan. Mereka juga bereksperimen dengan jenis musik pop semacam hip-hop. “Meski melelahkan dan berat di ongkos, saya bertekad akan terus menggelar YGF secara rutin,” katanya.
Menurut Sapto, lewat ajang inilah gamelan bisa memperoleh posisi terhormat, selain eksistensinya terus terjaga agar tak lenyap ditelan zaman. Maka ia terobsesi menjadikan gamelan sebagai ajang pergaulan dunia. Bagi Sapto, gamelan punya spirit kebersamaan ketika dimainkan, meski setiap instrumen bisa mandiri. Ia ingin gamelan menyatukan dunia: “gamelan hangeko buwono.”
Sapto tak sekadar bermimpi. Sebab, komunitas gamelan kini sudah berada di 35 negara. “Saya hanya membayangkan, suatu saat nanti saya hanya duduk sebagai penonton karena YGF sudah dijalankan oleh anak muda. Kapan hal itu terjadi, saya tidak tahu,” katanya.

DAFTAR PUSTAKA

Irsam Mujib, Izzudin dkk. 2011. Seru dan Unik Ala Kota Nusantara. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.



Minggu, 27 Maret 2016

CITRA PEREMPUAN JAWA PRIYAYI DALAM SERAT CANDRARINI KARYA PAKUBUWANA IX DAN RADEN MAS PANJI ESMUBRATA

Istilah perempuan berasal dari kata empu dan mendapat imbuhan per-an (Kris Budiman, 2001:77). Penggunaan istilah perempuan menjadi istilah yang lebih diterima dibandingkan dengan istilah wanita karena istilah wanita berhubungan dengan metatesis dengan kata betina yang lebih banyak dipergunakan untuk menyebut binatang.            Koentjaraningrat (1984), Sartono Kartodirjo (1987), Fransz Magnis-Suseno (2000), Kodiran (1979), dan Suripan Sadi Sutomo (2001) membedakan masyarakat Jawa tradisional menjadi 2 golongan, yaitu masyarakat Jawa priyayi dan masyarakat Jawa wong cilik. Masyarakat Jawa priyayi terdiri dari kaum pegawai dan intelektual. Keluarga bangsawan termasuk dalam kelompok priyayi. Sedangkan masyarakat wong cilik terdiri dari masyarakat biasa.
            Candrarini memiliki pengertian gambaran atau citra perempuan. Secara keseluruhan candrarini berarti gambaran ideal perempuan dalam kedudukannya sebagai seorang istri. Candrarini berisi nasihat jika perempuan ingin kekal pernikahannya, maka ia harus berperilaku baik dan mampu menjaga kecantikan tubuhnya luar dan dalam. Hal ini terjadi agar suami tetap setia berada disampingnya. Bagi perempuan priyayi, perceraian merupakan perbuatan yang hina, menghilangkan kebaikan diri dan pribadinya, serta bukti kegagalan dalam hidupnya. Maka, semua perempuan priyayi harus berusaha menjaga kelestarian pernikahannya. Agar kekal perbikahannya, maka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IX dan Raden Mas Panji Esmubrata (1939:1) menyarankan perempuan mengembangkan 9 watak dan tingkah laku antara lain setia kepada suami, sopan, mencintai sesama, terampil dalam berbagai kegiatan perempuan, pandai merawat diri, sederhana, pandai melayani suami, memiliki perhatian kepada mertua, dan gemar membaca buku yang terkait dengan keteladanan.
            Kesembilan watak tersebut merupakan watak yang dimiliki oleh 5 istri Arjuna seperti yang digambarkan oleh Pakubuwana IX dan 4 Arjuna lainnya yang digambarkan oleh Raden Mas Panju Esmubrata. Kesembilan istri digambarkan sebagai istri yang sempurna yang wajib ditiru tingkah lakunya oleh perempuan priyayi dalam kedudukannya sebagai istri.
            Penggambaran sosok ideal perempuan Jawa priyayi seperti halnya istri Arjuna dalam pewayangan ini dimaksudkan sebagai bahan perbandingan antara hal yang baik dan hal yang buruk dalam rumah tangga. Apabila perempuan Jawa priyayi tidak mencitrakan dirinya sesuai gambaran ideal tersebut, maka keretakan rumah tangga akan terjadi dan dapat menimbulkan kehancuran keluarga. Perceraian dikalangan perempuan priyayi merupakan hal yang sangat memalukan dan dengan berbagai upaya harus dihindari.

DAFTAR PUSTAKA
Partana, Paina dkk. 2011. ADILUHUNG: KAJIAN BUDAYA JAWA. Surakarta: CakraBooks untuk Institus Javanologi Universitas Sebelas Maret.


Senin, 21 Maret 2016

Tradisi Toleransi dari Sunan Kudus

          Sekitar 550 tahun lalu, Sunan Kudus, salah seorang Wali Songo, berdiri di depan serambi Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah. Warga Al Quds atau Kudus pun menanti dengan penuh harap.
          Sunan Kudus, yang ahli perbintangan, mengambil penabuh beduk. Saat Matahari mulai terbenam, ia menabuh beduk bertalu-talu sebagai tanda dimulainya bulan suci puasa. Kisah itu lalu dikenal sebagai tradisi dhandhangan, yang berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yang berbunyi, ”Dhang-dhang-dhang....”
         Peristiwa yang pertama kali dilakukan Sunan Kudus itu kini masih berlanjut. Warga Kudus setiap bulan Ramadhan selalu melakukan tradisi dhandhangan itu. Pekan lalu tradisi itu digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dengan visualisasi, yang dihadiri ribuan warga. Kisah awal tradisi itu pun seperti hadir kembali.
          Semula Al Quds adalah Desa Tajug. Warganya penganut animisme dan agama Hindu. Kehadiran Sunan Kudus membuat banyak warga Tajug menjadi Muslim. Namun, warga yang mempertahankan keyakinannya tetap dirangkul Sunan Kudus. Mereka hidup berdampingan.
          Bahkan, untuk menghargai pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus melarang warga menyembelih sapi, yang menjadi binatang suci dalam agama Hindu. Ia juga tidak meruntuhkan candi Hindu di desa itu. Candi itu justru dijadikan sebagai menara masjid yang kini dikenal sebagai Menara Kudus.
          Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Hadi Sucipto mengatakan, pemerintah berkomitmen melestarikan dhandhangan. Dalam tradisi itu terkandung pesan toleransi antarumat beragama.
          Dalam prosesi tradisi dhandhangan, pemerintah mengolaborasi tradisi itu dengan tradisi di desa rintisan wisata di Kudus lainnya. Hal itu, misalnya, tradisi kirab ahli pembuat gebyok rumah adat Kudus Mbah Rogomoyo, air salamun Masjid Wali, dan ampyangan. 
          Tradisi dhandhangan kini mengalami pergeseran. Masyarakat Kudus lebih tertarik berdagang dan mengunjungi Pasar Rakyat ketimbang berziarah ke Masjid Menara Kudus.
          Namun, ia mengakui, tradisi itu terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang etnis atau agamanya. Dhandhangan adalah momen toleransi rakyat.

Jumat, 24 April 2015

Post Perdana :D

Halooo, ini adalah pertama kalinya gw nulis blog.fufufu~

Disini gw bakal share perjalanan hidup gw (cie gitu), apa yang gw suka, gambar2 bikinan (bukan bikini lho ya, awas salah baca!) gw , lalu apa yaaaaa.....? hmm pokoknya banyak deh. Semoga blog gw bermanfaat bagi khalayak umum. Amiin :)

-Sekian-