Sapto
Raharjo lahir di Jakarta,
16 Februari 1955. Dunia musik karawitan dan seni tari digelutinya sejak ia
masih duduk di Sekolah Rakyat sekitar 1963. Darah seninya mengalir dari
keluarga tokoh pengrawit gamelan asal Yogyakarta Ki Cokro Wasito.
Foto Sapto Raharjo
Sapto Raharjo (almarhum) bersama
Komunitas Gayam 16 memprakarsai Festival Gamelan Yogyakarta. Sapto Raharjo juga
memperkenalkan istilah ‘gamelan gaul’. Semasa hidup, Sapto Raharjo mengasuh
acara ‘Apresiasi Musik’ di sebuah radio swasta anak muda. Dalam acara ini,
Sapto selalu memperdengarkan nada-nada gamelan yang telah dipadukan dengan
irama musik modern. Dengan begitu musik gamelan tidak hanya dapat dinikmati
oleh kalangan orang tua, tetapi juga disukai oleh anak muda. Ia mengisi
aransemen musik gamelan pada lagu yang diciptakan oleh Katon Bagaskara, “Jogja,
Cinta Tanpa Akhir”.
Sapto Raharjo sedang memainkan Gamelan Elektronik
“Kenal Sapto Rahardjo?” tanya lelaki kurus berambut
putih sebahu. “Tidak,” jawab Fadil Ikram, 9 tahun. Siswa kelas IV SD
Muhammadiyah, Kalasan, Yogyakarta, itu baru saja melantunkan lagu Anoman Obong.
“Wah, ternyata aku ini tidak terkenal,” kata lelaki berambut putih yang bernama
Sapto Rahardjo itu sembari tertawa kecut.
Sapto Raharjo, 53 tahun, iseng mengetes popularitasnya
di kalangan anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan bulan lalu, saat
berlangsung Yogyakarta Gamelan Festival ke-13. Toh, Fadil mengaku lebih suka
menonton film kartun Jepang dan lebih mengenal para personel band Sheila on 7.
Direktur festival gamelan ini di luar dunia Fadil.
Video Gamelan Gaul Sapto Raharjo
Sapto Rahardjo kondang dalam jagat gamelan
kontemporer. Ayah empat anak ini pemrakarsa festival gamelan di Yogyakarta pada
1995. Ia mengusung gamelan di atas truk untuk pementasan keliling dengan sejumlah
orang memainkan alat gamelan di sepanjang jalan Kota Yogyakarta. Dalam festival
gamelan itu, ia juga mengundang relasinya, kelompok gamelan asing, main di
Yogyakarta.
Sapto mengenal gamelan saat masih kelas III SD
Ungaran, Yogyakarta, pada 1963. Awalnya ia berlatih menari di sanggar Arena
Budaya Yogyakarta lima kali seminggu. “Pertama kali belajar menari, saya
kebagian peran monyet dalam fragmen Sugriwo-Subali,” kata lelaki yang selalu
mengenakan pakaian hitam itu.
Di saat teman wanitanya belajar menari, Sapto kebagian
jatah menabuh gamelan mengiringi latihan tari. “Sampai saat ini saya masih
hafal memainkan gamelan mengiringi empat tarian putri itu,” katanya.
Latihan tari dan gemelan terus berlangsung hingga ia
bersekolah di SMP 5 Yogyakarta. “Saat SMP, tiada hari tanpa berlatih gamelan
dan joget,” katanya. Sapto bahkan beberapa kali menari di hotel. Di SMA 3
Yogya, Sapto membentuk band beraliran rock. Di radio sekolah, Suara Padmanaba,
ia membahas perkembangan musik pop dan rock.
Toh, Sapto tak pernah meninggalkan gamelan. Sesekali
ia membuat komposisi musik eksperimental yang menggabungkan gamelan dengan
musik modern. Eksperimen itu membawanya ke panggung pertunjukan hingga ke luar
negeri.
Sebagai pencinta gamelan, hati Sapto Rahardjo berbunga
saat diundang ke Festival Gamelan Dunia di Canada pada 1986. Apalagi, panitia
menjanjikan akan menggelar Festival Gamelan Dunia tahun berikutnya di
Indonesia. “Saya tunggu bertahun-tahun, janji itu tak pernah terwujud,”
katanya. Sebagai penawar kecewa, ia memasukkan konser gamelan dalam jadwal
Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) pada 1990.
Lepas dari FKY, Sapto nekat menggelar Yogyakarta
Gamelan Festival (YGF) untuk pertama kali pada 1995. Sapto bangga, ajang
pertamanya ini dihadiri kelompok gamelan dari dalam negeri serta dari
Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, dan Amerika Serikat. Dua festival
berikutnya, pada 1996 dan 1997, pesertanya membludak. “Kami bahkan sampai
menolak peserta,” katanya.
Sapto bertekad akan terus menggelar festival secara
rutin meski setiap tahun harus dipusingkan urusan penggalian dana dan
mengkoordinasi banyak orang. Apalagi peserta festival makin bertambah. Tapi ia
menjalaninya dengan enteng bersama anak muda dalam Komunitas Gayam yang setia
membantunya.
Selama beberapa tahun belakangan ini, Sapto mulai
melibatkan kalangan muda mengisi acara festival lewat Gamelan Gaul dan gemelan
anak-anak, seperti kelompok Fadil Ikram tersebut. Pada Gamelan Gaul, pemainnya
melepaskan diri dari pakem memainkan gamelan. Mereka juga bereksperimen dengan
jenis musik pop semacam hip-hop. “Meski melelahkan dan berat di ongkos, saya
bertekad akan terus menggelar YGF secara rutin,” katanya.
Menurut Sapto, lewat ajang inilah gamelan bisa
memperoleh posisi terhormat, selain eksistensinya terus terjaga agar tak lenyap
ditelan zaman. Maka ia terobsesi menjadikan gamelan sebagai ajang pergaulan
dunia. Bagi Sapto, gamelan punya spirit kebersamaan ketika dimainkan, meski
setiap instrumen bisa mandiri. Ia ingin gamelan menyatukan dunia: “gamelan
hangeko buwono.”
Sapto tak sekadar bermimpi. Sebab, komunitas gamelan
kini sudah berada di 35 negara. “Saya hanya membayangkan, suatu saat nanti saya
hanya duduk sebagai penonton karena YGF sudah dijalankan oleh anak muda. Kapan
hal itu terjadi, saya tidak tahu,” katanya.
DAFTAR PUSTAKA
Irsam Mujib, Izzudin dkk. 2011. Seru dan Unik Ala Kota Nusantara. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sumber internet : http://sastra-indonesia.com/2009/03/menyatukan-dunia-lewat-gamelan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar